Jumat, 14 Oktober 2011

Setangkai Hati #part 1

“Pagi dunia !!” Dissa mencoba membuka mata lebar. Meskipun nyawa masih setengah tiang, ia segera mengakhiri sesi tidurnya. Jam dinding di kamarnya masih setia ber-tik-tok ria. Kali ini jarum pendeknya menunjukkan angka lima dan jarum pendeknya di angka tujuh.
Dissa masih duduk lemas sambil memeluk guling kesayangannya. Ia masih enggan beranjak dari kasur empuk yang selalu setia menopang tubuhnya yang disandera kantuk. Ekor matanya melirik poster berukuran seratus sentimeter persegi yang bersandar pada tembok sebelah kanan tempat tidurnya. Poster gede itu ia desain sendiri, dan hasilnya, nggak bagus-bagus amat. Ehh,, salah ding. Nggak jelek-jelek amat maksudnya. 
Ia membaca tulisan dalam poster itu. HOUDEN DE GEEST !! Ia tersenyum simpul, ia tahu arti kalimat itu. Kalimat itu ia ambil dari bahasa Belanda yang artinya tetap semangat. Jika ditanya tentang kenapa pakai bahasa Belanda? Ia akan menjawabnya, biar keren aja, kan kalok bahasa Inggris udah banyak yang pakek. Nah loo…

            Ia tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya merespon kalimat yang dibacanya tadi. Hoamb!! Ia sempatkan menguap sekali lagi sebelum benar-benar beranjak menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang rumahnya. Jalannya masih sempoyongan seolah nyawanya masih belum terkumpul total.
Oke! Mumpung Dissa lagi mandi, aku kenalin dulu yah..
Adissa Nadira. Seorang gadis enam belas tahun yang lagi duduk di kelas dua SMA. Karakternya yang cuek, terkadang membuatnya menjadi seseorang dengan hati serapuh kapas, namun terkadang menjadi seseorang tegar yang setegar karang (jadi kayak lagunya tante KD yah? Hehehe..).
Dissa adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Cici masih berusia dua belas tahun. Bundanya seorang ibu rumah tangga yang lembut dan baik hati. Sedangkan ayahnya adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan di Bandung. Keluarga kecilnya sangat demokratis, setiap permasalahan yang muncul selalu diambil opsi-opsi dari setiap anggota keluarga.
***
Buukk!!
“Whadaaw!!”
Dissa meringis saat kakinya tak sengaja menendang tempat sampah yang ada di depan kelasnya. Beberapa murid yang tengah melihat kejadian itu tertawa atau bahkan menatap dengan ekspresi bingung. Kok bisa-bisanya tempat sampah segede itu masih “ketendang”. Tapi tatapan bingung mereka malah tampak seperti kuda-kuda untuk bersiaga menghadapi insiden.
“Ah, elo, Sa. Bikin heboh ajah deh lo. Makanya, jangan meleng ajah tuh mata,” ucap Tita dengan ekspresi nggak jelas, antara menahan malu, gemas, dan tawa. Karena ia-lah orang yang sedari tadi –terlebih saat insiden nubruk tempat sampah itu terjadi- tengah berada di sebelah Dissa.
“Ssttt… Diem lo. Lima menit lagi jugak mereka bakal lupa. Slow down, beibh,” jawab Dissa cuek. Dengan innocentnya ia tetap melenggang, tapi ekor matanya tetap mengarah ke lapangan basket. Menatap salah seorang dari mereka, tepatnya yang sedang men-dribble bola.
“Heh, Sa. Lo ini, teteeeep aja. Nggak kapok nubruk tempat sampah? Kalok udah nubruk tembok, kapok lo,” omel Tita ketika menyadari sahabatnya masih menatap lapangan basket. Tanpa menunggu aba-aba lagi, ia segera menyeret Dissa ke kantin.
Oiyaa, belum dikenalin yah? Tita itu sahabatnya Dissa. Mereka klop banget. Kemana-mana selalu barengan, bahkan satu bangku. Hanya saja, Tita lebih sensitif daripada Dissa. Satu lagi sahabat Dissa, seorang cowok selebor dengan gaya yang cewek banget, Kea. Meski begitu Kea adalah tipekal orang yang mudah mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya, yang dia suka atau nggak suka dengan cara yang lembut dan dewasa.
Usai memesan bakso dan coca cola, mereka memilih duduk di deret ketiga di ujung kantin. Dari tempat itu, Dissa lebih mudah melihat ke lapangan basket.
“Lo tuh ye, malu-maluin tauk? Pakek acara nubruk tempat sampah lagi. Untung yang lihat cumak dikit,” Tita masih mengomel. Persis kayak ibu-ibu yang memarahi anaknya yang ketahuan mengendap-endap keluar rumah ketika di suruh tidur siang.
“Iya-iya, Mami. Santai aja lagi,” jawab Dissa masih dengan cuek. Ia kembali meyendok baksonya. Namun matanya tetap tertuju ke lapangan basket saat mengunyahnya.
“Mami, mami. Kumat deh, lo. Suka manggil orang sekenanya,” dengus Tita.
“Abisnya lo ngoceh mulu kayak emak-emak,” jawab Dissa sambil tertawa.
“Dasar lo tuh ye.. Tuh mata jangan lihatin lapangan basket mulu dong. Bakso lo tuh kasihan,” ucap Tita.
“Hehehehe. Biarin aja. Orang si Theo lagi maen basket ini. Sayang banget kalok dibiarin gitu aja. Tuh.. Tuh.. Lihat!” Dissa menunjuk ke lapangan basket. Tepatnya ke arah pemain yang sedang melakukan three point itu. “Dia cakep banget ya? Apalagi kalok lagi kringetan gini, tambah kelihatan macho..”
“Dasar gelo!” ketus Tita sambil menyendok kembali baksonya.
“Eh, kenapa lo sewot?”
“Nggak. Cuma lo-nya aja yang agak gila,”
“Kan masih agak. Belom gila beneran,” Dissa menjulurkan lidahnya. “Eh. Eh. Berarti lo temennya orang gila dong. Hahahaha,” goda Dissa sambil tertawa. Dan hal itu hanya disambut manyun di bibir tipis Tita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar