“Permisi,” izin Kian.
“Iya,” jawab seorang wanita dari dalam rumah. Decit pintu
terbuka.
“Ini saya mengantarkan kue, Bu,” ucap Kian.
“Terima kasih ya, Mas Kian,” ucap wanita paruh baya itu
ramah sambil mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan.
“Terima kasih, Bu,” jawab Kian sebelum berlalu.
Sudah menjadi kegiatan rutin setiap hari untuk Kian dan
Reni mengantarkan kue pesanan ke rumah Deni. Begitu pula dengan Deni. Sudah
menjadi kegiatan rutin untuk Deni berada di balik jendela setiap sore menjelang
kedatangan Reni dan Kian untuk mengantarkan kue, serta menjadi pemerhati Reni
dari jauh.
Ketika Reni datang dan mengetuk pintu kayu rumahnya, ada
rasa damai dalam pikirannya. Ada yang luruh dalam palung hatinya. Ia tak tau
itu apa. Namun, ketika Reni tak datang, ada kecewa yang mendalam di hatinya.
Hatinya mengering layaknya gurun pasir yang tanpa air.
Seperti saat ini, hanya Kian yang datang mengantarkan kue
ke rumahnya. Ia yang melihat kedatangan Kian dari balik jendela beringsut
perlahan sambil menundukkan kepalanya. Ada kecewa dan sedih yang mendalam
menggelayut di pikirannya. Ia pun kemudian meraih krayon hitam dan
menggores-goreskannya di atas kertas A3 di hadapannya. Melukiskan abstraksi
hatinya yang berduka.
***
Cinta itu terlalu abu-abu..
Setiap hari Deni selalu menanti kedatangan Reni tanpa
berani bersuara sedikitpun. Ada jemu dalam hatinya. Tapi ia tak tahu bagaimana
cara menghilangkannya. Baginya, semua terasa mustahil.
Di seperempat senja..
“Permisi,” izin Reni.
Tak ada jawaban.
“Permisi,” izin Reni lagi.
Tak ada jawaban.
Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki dari
dalam rumah. Langkah terdengar samar, pelan, dan takut-takut. Decit pintu
terbuka.
“I-i-ya,” ucapnya. Suara seorang laki-laki yang kini
tengah berdiri di hadapan Reni.
“Mmm.. Maaf, Mas, saya mau mengantarkan kue,” ucap Reni
seraya mengulurkan kantong plastik yang dibawanya. Lelaki itu tak berkata
apa-apa. Ia langsung meraih kantong plastik itu dari tangan Reni. Ia memberikan
selembar kertas yang ia lipat menjadi 4 kepada Reni sebelum berlalu, tanpa
mengucap terima kasih.
Reni tak mengerti
siapa lelaki itu. Derap langkah kakinya sudah menjauh. “Ahh, sudahlah. Aku
harus segera kembali,” pikir Reni. “Kasihan Mas Kian nunggu di depan,”
lanjutnya. Memang hari ini Reni dan Kian mengantarkan kue dengan menaiki
sepeda. Kian sedang menunggu Reni di depan pagar kayu sepinggang di halaman
depan rumah itu.
“Mas Kian?” tanya Reni. Tongkatnya mematuk-matuk tanah.
Siapa tau menemukan keberadaan Kian.
“Di sini, Ren,” jawab Kian sambil memutar sepedanya dan
mendekat ke Reni.
***
“Mas Kian, kok kayaknya ini bukan uang ya?” tanya Reni
ketika menyadari bahwa kertas yang diberikan Deni tadi adalah lipatan kertas
biasa.
“Masak sih? Mana cobak?” minta Kian.
“Ini,” jawab Reni sambil mengulurkan kertas itu.
“Lhoh. Iya, Ren. Apa kita langsung balikin aja ya?”
“Nggak usah, Mas. Besok ajalah. Sekalian nganter kue
lagi,” cegah Reni. Ia tak tega apabila abangnya yang harus kembali lagi ke
rumah Deni. Mas Kian pasti capek, pikirnya.
“Eh Ren, ternyata ada tulisannya,” ucap Kian.
“Apa isinya, Mas?” tanya Reni penasaran. Ia menegakkan
posisi duduknya. Kian menyusul duduk di sampingnya.
“Tulisannya ‘Hai-Re-ni. Da-ri-De-ni’,” ucap Kian terbata.
“Ah iya! Tulisannya ‘Hai Reni’ pengirimnya Deni,” jelas Kian. Susah payah ia
membaca tulisan krayon berwarna hijau muda itu. Tulisan itu seolah-olah ditulis
dengan tergesa-gesa.
“Ciee, punya fans nih,” goda Kian.
“Mas Kian apaan sih?” tangkis Reni. Ada rona merah jambu
di wajahnya.
“Ciee…” goda Kian lagi. “Bu, Ibu, Reni punya fans nih,
Bu,” Kian tetap keukeuh menggoda Reni.
“Mas Kian bohong, bu,” sergah Reni.
“Beneran kok, bu. Ini ada suratnya segala,” Kian masih
menggoda Reni.
“Mas Kiaaaaannnnnn!!!”
***
Deni duduk lantai sambil bersandar di dinding kamarnya.
Kamarnya bercat krem dengan aksen coklat pada kusen, pintu, almari, gorden dan
jendela. Kasur empuknya dibalut sprei warna cappucinno. Di lantainya banyak
kertas-kertas gambar ukuran A3 berserakan. Beberapa batang krayon juga tak
teratur di tempatnya.
Hatinya bergumam memperdebatkan segala hal yang mengisi
fikirannya. Mengapa wajah Reni selalu menghantui fikiranku? Apa yang salah
sebenarnya? Siapa dia? Apa yang terjadi pada hatiku?
Deni tak pernah menyadari semua. Ia hanya diam dan sibuk
memperdebatkannya dengan hati dan fikirannya. Matanya menatap kosong ke
jendela. Tubuhnya seperti tak punya daya, untuk bangkit. Ia terlalu sibuk
dengan dunianya, hingga di seperempat senja…..
Reni datang tertatih sambil mematuk-matukkan tongkat di
tangan kanannya, dan membawa kantong plastik berisi kue di tangan yang lain. Ia
sibuk meniti setiap jengkal halaman rumah Deni untuk menuju pintu, kali ini ia
tanpa Kian. Reni tersenyum ketika sudah menemukan tangga kecil yang biasa ia
pijak sebelum mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu’alaikum…” ucap Reni.
Tak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum, Bu Santoso,” ucap Reni lagi.
Masih tak ada jawaban.
“Ini Reni, Bu,” Reni masih mencoba.
Mendengar kalimat terakhir itu Deni beranjak mendekati
jendela kamarnya yang bersebelahan dengan pintu masuk. Ada senyum mengembang di
wajah pucatnya. Sementara hatinya, sama berdesirnya dengan waktu itu.
“Assalamu’alaikum…” Reni masih tak menyerah, “Bu
Santoso..” lanjutnya.
Nihil! Tak ada jawaban.
“Mungkin nggak ada orang..” gumam Reni. Ia pun berbalik
untuk pulang.
“Tunggu!” ada seseorang yang menarik tangan Reni. Tangan
itu hangat. Reni bisa merasakannya. Tangan itu menarik Reni untuk mengikutinya.
“Eh…” Reni kebingungan, “Kamu siapa?” tanya Reni
takut-takut.
Tak lama, tangan yang hangat itu memaksanya untuk duduk
di sebuah kursi kayu. Reni dengan takut-takut mengikutinya. Segala fikiran
berkecamuk dalam otaknya yang kini berotasi tak beraturan. Siapa dia? Apa
tujuannya?
“Hai.. A-a-aku Deni. K-k-kamu Reni, kan?” tanya suara itu
gugup.
Hati Reni berdenyut tak jelas. Suara yang lembut,
pikirnya. “I-i-iya. Aku Reni.”
“Mmm.. Maaf membuat kamu kaget,” Deni memulai.
“I-i-ya. Ada apa ya, Mas?” tanya Reni sopan. Tapi tak
bisa di sangkal, ada nada takut di sana.
Hening. Deni mulai gusar, memaksa otaknya berfikir
tentang kalimat apa yang sesuai dengan pertanyaan Reni dan tentang apa yang ia
rasakan sendiri saat ini.
“Aku cuma pengen kenal kamu,” jawab Deni akhirnya.
Detik itu, dimulailah percakapan antara keduanya.
Beberapa anggukan, gelengan, dan jawaban-jawaban singkat yang terkesan kaku mewarnai
perbincangan mereka sore itu.
***
selanjutnya...
***
selanjutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar