Senin, 11 Februari 2013

Cinta di Seikat Kata Sandi #part1

Gadis itu duduk sendiri menantang dunianya yang remang. Sesekali kakinya bergoyang ditimang angin yang menerobos kaki kursi. Jemarinya yang pucat tengah menekuni berderet-deret huruf braille.
Sesekali ia berekspresi, tersenyum. Namun baginya tetap saja semua hanya hitam. Bagaikan suatu negeri yang selalu malam tanpa bulan, bintang, api apalagi nyala listrik.
Namanya Reni. Reni Sawitri. Gadis sembilan belas tahun dengan tuna netra yang disandangnya sejak lahir. Ia tak pernah mengenal setetes pun terangnya dunia.
Lima tahun yang lalu, ia sempat berfikir untuk mengakhiri semuanya. Mengakhiri hidupnya yang gelap tanpa cahaya.
“Hei! Apa kamu sudah gila? Apa yang kamu lakukan, hah?” maki Kian, kakak laki-laki semata wayangnya, sambil menyingkirkan pisau yang nyaris memotong nadi adik kesayangannya.
“Aku sudah bosan, Mas! Aku nggak berguna!” teriak Reni. Tangannya bergetar. Suaranya tertahan.
“Siapa bilang kamu nggak berguna?” ucap Kian lagi.
“Apa Mas pikir aku nggak punya perasaan? Empat belas tahun aku nggak bisa apa-apa. Semuanya hanya hitam! Hitam! Aku nggak tau seperti apa dunia yang sebenarnya. Duniaku tak terlihat, Mas,” jawab Reni. Pundaknya bergoncang, air matanya menetes.
Kian merengkuh adiknya. Dalam dekapannya ia berbisik tepat di telinga Reni, “Ren, nggak semua orang bisa melakukan segala hal. Ada masanya ia juga akan menempati titik kelemahannya. Tapi dari situ, mereka dapat lebih mengerti bahwa kuasa Allah lebih indah dari segalanya. Begitu juga dengan kamu. Menempati titik kelemahan bukanlah akhir. Tapi itu sebuah awal yang berupa cobaan, karena Allah sayang sama kamu. Karena Allah tau kamu bisa ngadepin semua ini dengan baik.”
***
Wajah putih itu beku tanpa ekspresi. Matanya menjajaki lembar putih yang ia gelar di hadapannya. Tangannya bergerak kaku. Jari-jarinya menggapit krayon merah yang mulai ia gores-goreskan di kertas.
Namanya Deni. Deni Santoso. Lelaki dengan skizofrenia berusia sembilan belas tahun. Dunianya yang sepi tak membuat semangatnya luntur.
Deni mempercepat gerakan tangannya. Melukiskan kegamangan hatinya. Mengukir abstraksi-abstraksi hatinya yang tak tersampaikan.
***
20 Maret 2006 di seperempat senja.
“Ren, mau ikut Mas nggak?” tanya Kian pada Reni yang tengah menata kue ke dalam kotak.
“Ikut ke mana mas?”
“Nganterin kue ke rumah tetangga baru,” jelas Kian. “Kuenya yang lagi ditata Reni ya, Bu?” tanya Kian pada ibunya yang tengah duduk di atas tikar.
“Iya, Le (sebutan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Jawa). Kamu ganti baju dulu gih,” jawab ibunya.
“Iya, Bu,” jawab Kian seraya masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mengganti kaosnya yang belepotan oli dengan kaos bersih berwarna abu-abu. “Ayo, Ren, berangkat!” ajak Kian. Reni pun berdiri sambil menenteng kantong plastik berisi dua kotak kue.
“Bu, berangkat dulu ya.. Assalamu’alaikum,” pamit Reni.
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya..” restu ibunya.
Sepanjang jalan, Reni dan Kian beberapa kali tertawa. Menceritakan apa yang terjadi hari ini. Menceritakan hal lucu, menyenangkan yang terjadi sepanjang hari. Tongkat Reni mematuk-matuk tanah sebelum ia berpijak, sementara Kian tetap mengawasinya, bersiaga terhadap halangan yang ada di depan.
Tok! Tok! Tok!
Buku jari Kian mengetuk pintu kayu rumah tujuannya. “Permisi,” izinnya.
“Iya,” jawab suara wanita yang terdengar mendekat ke pintu. Decit pintu terbuka. “Iya?” tanya wanita  itu seraya membuka pintu lebar-lebar. Wajahnya berseri dan tenang. Auranya yang lembut ditegaskan dengan baju hijau yang tengah ia pakai.
“Maaf, Bu, ini saya mengantarkan kue pesanan ibu,” jawab Reni seraya mengulurkan kantong plastik yang di bawanya.
“Oh iya. Terima kasih ya Mbak …” ucapnya menggantung.
“Reni, Bu.”
“Oh iya. Mbak Reni dan Mas …” ucapnya menggantung lagi.
“Kian, Bu.”
“Terima kasih ya Mbak Reni dan Mas Kian. O iya, ini uang kuenya,” ucapnya seraya merogoh saku rok selututnya, mengambil selembar uang sepuluh ribu-an dan memberikannya kepada Reni.
“Terima kasih, Bu,” jawab Reni dan Kian kompak sebelum berlalu.
Tak ada yang memperhatikan bahwa sedari tadi ada yang mengawasi percakapan tiga orang itu dari balik jendela kaca. Tangannya menggenggam krayon coklat, di hadapannya digelar selembar kertas putih berukuran A3. Namun matanya tetap mengarah ke tiga orang yang tengah berbincang singkat di depan pintu rumahnya. Ialah, Deni.
***
Pertemuan dua bola mata Deni yang tertumbuk pada sosok Reni membuatnya tak nyaman. Ada rasa haru, iba, dan bahagia yang berdesakan di hati Deni. Entah mengapa sosok gadis berambut sebahu itu terus ada dalam pikirannya. Ia tak mengerti.
Penampilan Reni yang sederhana, terlebih melihat tongkat alumunium yang berada di genggaman tangan Reni membuat hatinya berdesir. Ada rasa kagum di jauh hatinya.
Tangannya bergerak memoleskan krayon coklat yang sedari tadi di genggamnya menjadi garis-garis abstrak yang mirip ranting pohon. Lalu memoleskan krayon hijau untuk melengkapinya sebagai satu daun di ranting itu. Melambangkan ada harapan dalam hidupnya yang sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar