Gadis itu duduk sendiri menantang dunianya yang remang.
Sesekali kakinya bergoyang ditimang angin yang menerobos kaki kursi. Jemarinya
yang pucat tengah menekuni berderet-deret huruf braille.
Sesekali ia berekspresi, tersenyum. Namun baginya tetap
saja semua hanya hitam. Bagaikan suatu negeri yang selalu malam tanpa bulan,
bintang, api apalagi nyala listrik.
Namanya Reni. Reni Sawitri. Gadis sembilan belas tahun
dengan tuna netra yang disandangnya sejak lahir. Ia tak pernah mengenal setetes
pun terangnya dunia.
Lima tahun yang lalu, ia sempat berfikir untuk mengakhiri
semuanya. Mengakhiri hidupnya yang gelap tanpa cahaya.
“Hei! Apa kamu sudah gila? Apa yang kamu lakukan, hah?”
maki Kian, kakak laki-laki semata wayangnya, sambil menyingkirkan pisau yang
nyaris memotong nadi adik kesayangannya.
“Aku sudah bosan, Mas! Aku nggak berguna!” teriak Reni.
Tangannya bergetar. Suaranya tertahan.
“Siapa bilang kamu nggak berguna?” ucap Kian lagi.
“Apa Mas pikir aku nggak punya perasaan? Empat belas
tahun aku nggak bisa apa-apa. Semuanya hanya hitam! Hitam! Aku nggak tau
seperti apa dunia yang sebenarnya. Duniaku tak terlihat, Mas,” jawab Reni.
Pundaknya bergoncang, air matanya menetes.
Kian merengkuh adiknya. Dalam dekapannya ia berbisik
tepat di telinga Reni, “Ren, nggak semua orang bisa melakukan segala hal. Ada
masanya ia juga akan menempati titik kelemahannya. Tapi dari situ, mereka dapat
lebih mengerti bahwa kuasa Allah lebih indah dari segalanya. Begitu juga dengan
kamu. Menempati titik kelemahan bukanlah akhir. Tapi itu sebuah awal yang
berupa cobaan, karena Allah sayang sama kamu. Karena Allah tau kamu bisa
ngadepin semua ini dengan baik.”
***
Wajah putih itu beku tanpa ekspresi. Matanya menjajaki
lembar putih yang ia gelar di hadapannya. Tangannya bergerak kaku. Jari-jarinya
menggapit krayon merah yang mulai ia gores-goreskan di kertas.
Namanya Deni. Deni Santoso. Lelaki dengan skizofrenia
berusia sembilan belas tahun. Dunianya yang sepi tak membuat semangatnya luntur.
Deni mempercepat gerakan tangannya. Melukiskan kegamangan
hatinya. Mengukir abstraksi-abstraksi hatinya yang tak tersampaikan.
***
20 Maret 2006 di seperempat senja.
“Ren, mau ikut Mas nggak?” tanya Kian pada Reni yang
tengah menata kue ke dalam kotak.
“Ikut ke mana mas?”
“Nganterin kue ke rumah tetangga baru,” jelas Kian. “Kuenya
yang lagi ditata Reni ya, Bu?” tanya Kian pada ibunya yang tengah duduk di atas
tikar.
“Iya, Le (sebutan untuk anak laki-laki dalam Bahasa
Jawa). Kamu ganti baju dulu gih,” jawab ibunya.
“Iya, Bu,” jawab Kian seraya masuk ke kamar mandi. Membersihkan
diri dan mengganti kaosnya yang belepotan oli dengan kaos bersih berwarna
abu-abu. “Ayo, Ren, berangkat!” ajak Kian. Reni pun berdiri sambil menenteng
kantong plastik berisi dua kotak kue.
“Bu, berangkat dulu ya.. Assalamu’alaikum,” pamit Reni.
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya..” restu ibunya.
Sepanjang jalan, Reni dan Kian beberapa kali tertawa.
Menceritakan apa yang terjadi hari ini. Menceritakan hal lucu, menyenangkan
yang terjadi sepanjang hari. Tongkat Reni mematuk-matuk tanah sebelum ia
berpijak, sementara Kian tetap mengawasinya, bersiaga terhadap halangan yang
ada di depan.
Tok! Tok! Tok!
Buku jari Kian mengetuk pintu kayu rumah tujuannya.
“Permisi,” izinnya.
“Iya,” jawab suara wanita yang terdengar mendekat ke
pintu. Decit pintu terbuka. “Iya?” tanya wanita itu seraya membuka pintu lebar-lebar. Wajahnya
berseri dan tenang. Auranya yang lembut ditegaskan dengan baju hijau yang
tengah ia pakai.
“Maaf, Bu, ini saya mengantarkan kue pesanan ibu,” jawab
Reni seraya mengulurkan kantong plastik yang di bawanya.
“Oh iya. Terima kasih ya Mbak …” ucapnya menggantung.
“Reni, Bu.”
“Oh iya. Mbak Reni dan Mas …” ucapnya menggantung lagi.
“Kian, Bu.”
“Terima kasih ya Mbak Reni dan Mas Kian. O iya, ini uang
kuenya,” ucapnya seraya merogoh saku rok selututnya, mengambil selembar uang sepuluh
ribu-an dan memberikannya kepada Reni.
“Terima kasih, Bu,” jawab Reni dan Kian kompak sebelum
berlalu.
Tak ada yang memperhatikan bahwa sedari tadi ada yang
mengawasi percakapan tiga orang itu dari balik jendela kaca. Tangannya
menggenggam krayon coklat, di hadapannya digelar selembar kertas putih
berukuran A3. Namun matanya tetap mengarah ke tiga orang yang tengah berbincang
singkat di depan pintu rumahnya. Ialah, Deni.
***
Pertemuan dua bola mata Deni yang tertumbuk pada sosok
Reni membuatnya tak nyaman. Ada rasa haru, iba, dan bahagia yang berdesakan di
hati Deni. Entah mengapa sosok gadis berambut sebahu itu terus ada dalam
pikirannya. Ia tak mengerti.
Penampilan Reni yang sederhana, terlebih melihat tongkat
alumunium yang berada di genggaman tangan Reni membuat hatinya berdesir. Ada
rasa kagum di jauh hatinya.
Tangannya bergerak memoleskan krayon coklat yang sedari
tadi di genggamnya menjadi garis-garis abstrak yang mirip ranting pohon. Lalu
memoleskan krayon hijau untuk melengkapinya sebagai satu daun di ranting itu.
Melambangkan ada harapan dalam hidupnya yang sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar