Senin, 11 Februari 2013

Cinta di Seikat Kata Sandi #part3


Reni duduk di ranjang kamarnya. Menatap kosong pada dinding. Beberapa kali ia tersenyum mengingat kejadian sore tadi. Ia sibuk menerka-nerka, seperti apakah Deni sebenarnya? Mengapa ia merasa nyaman berada di dekatnya?
Entahlah. Pertanyaan itu hanya berputar-putar di otaknya dan belum menemukan jawaban. Baginya sangat sulit untuk mengisi titik-titik pertanyaan yang yang menggantung di benaknya. Hingga tiba-tiba…
“Hayooo.. Ngapain senyum-senyum sendiri, Ren?” tanya Kian tiba-tiba. Mengagetkan Reni dan membuyarkan lamunannya.
“He?” Reni terbata-bata. “Mmm.. Anu.. Eh, nggak kenapa-kenapa, Mas,” jawab Reni gelagapan.
“Aduh, adik Mas ini ternyata udah gede ya..” goda Kian.
“Apaan sih, Mas?” Reni tersipu.
“Apaan-apaan. Jujur aja deh.. Kenapa senyum-senyum?” goda Kian lagi.
“Ihh, Mas Kian, dibilangin nggak kenapa-kenapa juga,” jawab Reni sambil manyun.
“Hmm.. Bohong yaaa?” Kian masih belum puas menggoba adiknya.

“Mas Kiaaannnn!!” Reni semakin sebal dengan kakak semata wayangnya itu.
“Kenapa, Ren?” tanya Kian, “Jujur aja deh,” goda Kian lagi.
“Iya deh iya. Reni cerita,” Reni pun menyerah dan memilih menceritakan semuanya kepada Kian. Ia tidak mau Kian terus menggodanya seperti itu, bisa malu dia. Wajahnya pasti memerah.
Reni menceritakan semuanya mulai dari awal. Dari saat ia menunggu seseorang untuk membukakan pintu sampai tangan hangat Deni yang menyuruhnya duduk dan mengajaknya berbincang. Semua ia curahkan pada kakak semata wayangnya itu.
Malam ini, Reni benar-benar tak bisa tidur. Ia masih belum bisa melewatkan percakapannya dengan Deni tadi sore. Hatinya benar-benar tengah membuncah. Ada bunga-bunga bermekaran jauh di dalam jiwanya yang dulu hitam. Beberapa kali ia hanya tersenyum mengingatnya.
***
Sore hari adalah pompa semangat bagi Reni sejak saat itu. Tak pernah luput darinya untuk mengantarkan kue ke rumah Deni. Tak pernah alpa untuknya berbincang dengan Deni.
Pernah suatu hari ibu Deni yang membukakan pintu. Ada kecewa di raut wajah Reni. Ia lalu pamit dan membalikkan badan hendak pergi. Namun ada yang mengganjal di hatinya. Entah itu apa. Sehingga Reni mengurungkan kepergiannya dan bertanya, “Maaf Bu, Deni ada?”
Ibu Deni yang sudah hampir mencapai pintu pun berbalik, “Deni? Oh ada. Tungggu sebentar ya. Sini Reni duduk dulu,” jawabnya dengan pelan seraya menggandeng Reni untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
Ketika ia sudah bertemu dengan Deni, ada kelegaan di ruang hatinya. Percakapannya dengan Deni yang masih kaku-kaku itu mampu meluapkan semangatnya yang entah datang dari mana.
***
13 Juli 2006.
Sore itu gerimis tiba-tiba datang. Namun tak menyurutkan semangat Reni untuk mengantarkan kue ke rumah Deni. Dengan berbekal sebuah payung merah, ia menerobos tirai gerimis. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mampu sampai di rumah Deni dengan selamat. Semakin kuat ia memegang tongkat alumuniumnya untuk mematuk jalan. Ia hanya bisa merasakan rasa di dalam hatinya tengah membuncah. Entah itu apa.
Begitu sampai di depan pintu rumah Deni, ia segera mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum,” ucapnya.
Tak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum,” ulangnya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab suara seorang perempuan paruh baya dari dalam rumah. Kentara dari suaranya ia tengah berlari mendekat ke arah pintu. Namun Reni merasa ada yang beda pada suara wanita ini. Ia tak pernah mengenal suara itu sebelumnya.
“Maaf, Bu, mau nganter kue,” ucap Reni sopan setelah ia merasakan wanita itu sudah ada di hadapannya.
“Ohh iya, Mbak. Maaf ya, tapi semua anggota keluarga Pak Santoso sedang ke Jogja. Ini saya hanya ditugasin untuk menjaga rumah,” jawab wanita itu sopan.
“Nggak apa-apa, Bu. Biar kuenya saya bawa pulang lagi. Trimakasih, Bu,” pamit Reni. Ada yang mengganjal bagi Reni untuk langsung pergi dari rumah itu. “Kalau boleh saya tau, kapan kira-kira mereka pulang, Bu?” tanyanya kemudian.
“Duuhh.. Kurang tau juga ya, Mbak. Soalnya mereka juga nggak cerita apa alasan mereka pergi ke Jogja. Mungkin minggu depan juga sudah balik,” papar wanita itu dengan kalem. Ada nada ramah dalam setiap kata-katanya. Sangat bersahabat.
“Ya sudah, Bu. Trimakasih,” pamit Reni kemudian. Rasa kecewa benar-benar bersarang di hatinya saat ini. Ia benar-benar merasa kehilangan separuh dari kebahagiaan harinya.
“Iya sama-sama, Mbak. Ini dengan mbak siapa ya?” tanya wanita itu lagi.
“Dengan Reni, Bu. Nggak usah pakai mbak nggak apa-apa kok, Bu,” jawab Reni sopan. Jauh di lubuk hatinya, ia berusaha menekan rasa gaduh hatinya.
“Oh iya, Mbak Reni.”
“Mari, Bu.”
“Iya, Mbak Ren-“ suaranya terhenti seperti mengingat sesuatu. Sementara Reni hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi. “Mbak Reni, tunggu sebentar,” pinta wanita. Kentara dari suara yang Reni tangkap, ia tengah tergopoh-gopoh berlari menuju suatu tempat dan hingga akhirnya kembali lagi ke hadapan Reni.
“Ini, Mbak Reni. Ada titipan dari Mas Deni tadi pagi. Katanya suruh ngasihin ke Mbak Reni,” ucap wanita itu sambil meraih tangan Reni dan menyematkan kertas kepadanya. “Sampai lupa tadi. Maaf ya, Mbak. Soalnya saya lupa nama yang disebutin Mas Deni tadi pagi. Untung saya tadi nanya Mbak,” lanjutnya.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Terima kasih, Bu,” pamit Reni.
Ia segera mengakhirinya dan pergi. Seolah ia tak sanggup berdiri. Ia tak tau mengapa. Rasa kecewa itu memenuhi palung hatinya. Tak bisa ia menjelaskan rasa di dalam hatinya sore itu. Yang ia tau, ia hanya ingin pulang.
***

3 komentar:

  1. "Ia segera mengakhirinya dan pergi. Seolah ia tak sanggup berdiri. Ia tak tau mengapa. Rasa kecewa itu memenuhi palung hatinya. Tak bisa ia menjelaskan rasa di dalam hatinya sore itu. Yang ia tau, ia hanya ingin pulang."
    lanjutanya dong.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh.. maap.. belum bs nuangin ide.. padahal tinggal ending..

      Hapus
  2. hayo apa itu lanjutannya q asyik baca kepotong gak ini.....kok lama amat ya dari tahun 2013 sampek 2015 kok gak da lanjutannya...hehehehe

    BalasHapus