Reni duduk di ranjang kamarnya. Menatap kosong pada
dinding. Beberapa kali ia tersenyum mengingat kejadian sore tadi. Ia sibuk
menerka-nerka, seperti apakah Deni sebenarnya? Mengapa ia merasa nyaman berada
di dekatnya?
Entahlah. Pertanyaan itu hanya berputar-putar di otaknya
dan belum menemukan jawaban. Baginya sangat sulit untuk mengisi titik-titik
pertanyaan yang yang menggantung di benaknya. Hingga tiba-tiba…
“Hayooo.. Ngapain senyum-senyum sendiri, Ren?” tanya Kian
tiba-tiba. Mengagetkan Reni dan membuyarkan lamunannya.
“He?” Reni terbata-bata. “Mmm.. Anu.. Eh, nggak
kenapa-kenapa, Mas,” jawab Reni gelagapan.
“Aduh, adik Mas ini ternyata udah gede ya..” goda Kian.
“Apaan sih, Mas?” Reni tersipu.
“Apaan-apaan. Jujur aja deh.. Kenapa senyum-senyum?” goda
Kian lagi.
“Ihh, Mas Kian, dibilangin nggak kenapa-kenapa juga,”
jawab Reni sambil manyun.
“Hmm.. Bohong yaaa?” Kian masih belum puas menggoba
adiknya.
“Mas Kiaaannnn!!” Reni semakin sebal dengan kakak semata
wayangnya itu.
“Kenapa, Ren?” tanya Kian, “Jujur aja deh,” goda Kian
lagi.
“Iya deh iya. Reni cerita,” Reni pun menyerah dan memilih
menceritakan semuanya kepada Kian. Ia tidak mau Kian terus menggodanya seperti
itu, bisa malu dia. Wajahnya pasti memerah.
Reni menceritakan semuanya mulai dari awal. Dari saat ia
menunggu seseorang untuk membukakan pintu sampai tangan hangat Deni yang
menyuruhnya duduk dan mengajaknya berbincang. Semua ia curahkan pada kakak
semata wayangnya itu.
Malam ini, Reni benar-benar tak bisa tidur. Ia masih
belum bisa melewatkan percakapannya dengan Deni tadi sore. Hatinya benar-benar
tengah membuncah. Ada bunga-bunga bermekaran jauh di dalam jiwanya yang dulu
hitam. Beberapa kali ia hanya tersenyum mengingatnya.
***
Sore hari adalah pompa semangat bagi Reni sejak saat itu.
Tak pernah luput darinya untuk mengantarkan kue ke rumah Deni. Tak pernah alpa
untuknya berbincang dengan Deni.
Pernah suatu hari ibu Deni yang membukakan pintu. Ada
kecewa di raut wajah Reni. Ia lalu pamit dan membalikkan badan hendak pergi.
Namun ada yang mengganjal di hatinya. Entah itu apa. Sehingga Reni mengurungkan
kepergiannya dan bertanya, “Maaf Bu, Deni ada?”
Ibu Deni yang sudah hampir mencapai pintu pun berbalik,
“Deni? Oh ada. Tungggu sebentar ya. Sini Reni duduk dulu,” jawabnya dengan
pelan seraya menggandeng Reni untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
Ketika ia sudah bertemu dengan Deni, ada kelegaan di
ruang hatinya. Percakapannya dengan Deni yang masih kaku-kaku itu mampu
meluapkan semangatnya yang entah datang dari mana.
***
13 Juli 2006.
Sore itu gerimis tiba-tiba datang. Namun tak menyurutkan
semangat Reni untuk mengantarkan kue ke rumah Deni. Dengan berbekal sebuah
payung merah, ia menerobos tirai gerimis. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa
ia mampu sampai di rumah Deni dengan selamat. Semakin kuat ia memegang tongkat
alumuniumnya untuk mematuk jalan. Ia hanya bisa merasakan rasa di dalam hatinya
tengah membuncah. Entah itu apa.
Begitu sampai di depan pintu rumah Deni, ia segera
mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum,” ucapnya.
Tak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum,” ulangnya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab suara seorang perempuan paruh
baya dari dalam rumah. Kentara dari suaranya ia tengah berlari mendekat ke arah
pintu. Namun Reni merasa ada yang beda pada suara wanita ini. Ia tak pernah
mengenal suara itu sebelumnya.
“Maaf, Bu, mau nganter kue,” ucap Reni sopan setelah ia
merasakan wanita itu sudah ada di hadapannya.
“Ohh iya, Mbak. Maaf ya, tapi semua anggota keluarga Pak
Santoso sedang ke Jogja. Ini saya hanya ditugasin untuk menjaga rumah,” jawab
wanita itu sopan.
“Nggak apa-apa, Bu. Biar kuenya saya bawa pulang lagi.
Trimakasih, Bu,” pamit Reni. Ada yang mengganjal bagi Reni untuk langsung pergi
dari rumah itu. “Kalau boleh saya tau, kapan kira-kira mereka pulang, Bu?”
tanyanya kemudian.
“Duuhh.. Kurang tau juga ya, Mbak. Soalnya mereka juga
nggak cerita apa alasan mereka pergi ke Jogja. Mungkin minggu depan juga sudah
balik,” papar wanita itu dengan kalem. Ada nada ramah dalam setiap
kata-katanya. Sangat bersahabat.
“Ya sudah, Bu. Trimakasih,” pamit Reni kemudian. Rasa
kecewa benar-benar bersarang di hatinya saat ini. Ia benar-benar merasa
kehilangan separuh dari kebahagiaan harinya.
“Iya sama-sama, Mbak. Ini dengan mbak siapa ya?” tanya
wanita itu lagi.
“Dengan Reni, Bu. Nggak usah pakai mbak nggak apa-apa
kok, Bu,” jawab Reni sopan. Jauh di lubuk hatinya, ia berusaha menekan rasa
gaduh hatinya.
“Oh iya, Mbak Reni.”
“Mari, Bu.”
“Iya, Mbak Ren-“ suaranya terhenti seperti mengingat
sesuatu. Sementara Reni hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi. “Mbak Reni,
tunggu sebentar,” pinta wanita. Kentara dari suara yang Reni tangkap, ia tengah
tergopoh-gopoh berlari menuju suatu tempat dan hingga akhirnya kembali lagi ke
hadapan Reni.
“Ini, Mbak Reni. Ada titipan dari Mas Deni tadi pagi.
Katanya suruh ngasihin ke Mbak Reni,” ucap wanita itu sambil meraih tangan Reni
dan menyematkan kertas kepadanya. “Sampai lupa tadi. Maaf ya, Mbak. Soalnya
saya lupa nama yang disebutin Mas Deni tadi pagi. Untung saya tadi nanya Mbak,”
lanjutnya.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Terima kasih, Bu,” pamit Reni.
Ia segera mengakhirinya dan pergi. Seolah ia tak sanggup
berdiri. Ia tak tau mengapa. Rasa kecewa itu memenuhi palung hatinya. Tak bisa
ia menjelaskan rasa di dalam hatinya sore itu. Yang ia tau, ia hanya ingin
pulang.
***
"Ia segera mengakhirinya dan pergi. Seolah ia tak sanggup berdiri. Ia tak tau mengapa. Rasa kecewa itu memenuhi palung hatinya. Tak bisa ia menjelaskan rasa di dalam hatinya sore itu. Yang ia tau, ia hanya ingin pulang."
BalasHapuslanjutanya dong.. :D
waduh.. maap.. belum bs nuangin ide.. padahal tinggal ending..
Hapushayo apa itu lanjutannya q asyik baca kepotong gak ini.....kok lama amat ya dari tahun 2013 sampek 2015 kok gak da lanjutannya...hehehehe
BalasHapus