“Ibuk, Ibuk
mau ke mana?” tanya seorang gadis mungil yang kira-kira berusia enam tahun.
Matanya tak berhenti menatap wajah ibunya yang di make-up. Tangan kecilnya
memainkan jari-jarinya, mengkaitkan kedua telunjuknya, lalu melepaskannya lagi.
“Ibuk mau
kerja, Nduk. Kamu di rumah nggak boleh nakal ya?” jawab ibunya lembut.
“Wulan ikut
ya, Buk? Wulan janji nggak akan nakal, Wulan nggak akan ganggu Ibuk,” rengek
gadis kecil itu. Matanya menyorot penuh harap pada ibunya.
“Wis to, Nduk, cah ayu.
Kamu di rumah ae yo, Nduk,” ucapnya seraya menutup lipstick merah yang baru
saja dipakainya.
“Wulan
ikut, Wulan ikut,” rengeknya manja. Air matanya menetes satu.
Ibunya
mengelus lembut rambut anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.
Kemudian menggendongnya. “Wulan, kamu nggak boleh kayak gitu. Ibuk kerja buat
makan Wulan sama ibuk juga. Wulan nggak boleh nakal,” tuturnya dengan setengah
berbisik tepat di telinga Wulan. Sekali lagi air mata Wulan menetes. Ia meronta
ingin turun. Ibunya menuruti.
“Wis
yo, Nduk. Ibuk berangkat dulu,” pamit ibunya dengan hati-hati. Wulan mencium
punggung tangan ibunya.
“Daaa-daaah,
Ibuk,” ucapnya sembari melambaikan tangannya di udara. Matanya masih menatap
ibunya yang berjalan menjauh dari rumahnya. Pintu rumah pun ia tutup kala
ibunya sudah tak terlihat ketika sudah berbelok di ujung gang.
Jam
masih menunjukkan pukul empat pagi. Fajar yang menyingsing masih sebagian. Ibu
Wulan berjalan sedikit gontai. Wajahnya di poles cantik nan rupawan. Baju
transparannya bermotif biru muda dari benang dan manik-manik kecil yang
mengilat saat ditempa cahaya. Kain batiknya menutupi hingga mata kaki. Kakinya
yang telanjang tanpa alas kaki membuatnya sesekali meringis kesakitan kala
menginjak batu yang tajam.
“Wulan,
ibuk berangkat kerja dulu,” pamit ibunya. Masih sama lembutnya dengan tiga
tahun lalu. Wulan menggamit tangan ibunya, mencium punggung tangannya. Jam
masih menunjukkan pukul empat pagi. Fajarpun masih enggan beranjak dari
peraduannya karena tertutup mendung.
“Hati-hati,
Buk,” ucap Wulan sambil mengantarkan ibunya hingga depan rumah. Ibunya
tersenyum tulus, kemudian berlalu ke ujung gang.
Wulan
menatap punggung ibunya iba. Tubuh yang menjauh dari rumahnya itu memakai
kebaya merah jambu dengan manik-manik kecil yang mengilat. Tip kecil disandang
di bahunya. Namun yang tak dapat ia pungkiri, ibunya sudah lebih tua daripada
tiga tahun lalu.
Wulan
masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia duduk di kursi reyot di ruang tamu.
Ia ingat peristiwa setahun yang lalu saat teman-teman sekolahnya mengejek
dirinya.
“Hahahahaha, Wulan anak pengamen yang dandan kayak
lenong. Hahahahaha,” ucap seorang anak yang disambut gelegar tawa mengejek
teman-temannya yang lain.
Air mata Wulan menetes satu. Ia mencoba tak mendengar
ejekan teman-temannya itu. Aida, teman sebangku Wulan terus menggenggam tangan
Wulan, meyakinkannya bahwa Wulan harus bersabar. “Wulan anak pengamen yang
dandanannya kayak lenong,” ejek temannya lagi, kali ini lebih keras.
Tangis Wulan meledak. “Memang kenapa kalau
ibu Wulan pengamen? Memang kenapa kalau ibu Wulan dandan seperti lenong?”
sergah Wulan suaranya bergetar. Sontak suara gaduh di kelasnya itu lenyap.
Kelasnya hening. Aida masih menggenggam tangan Wulan.
“Meskipun ibuk ngamen dengan dandan seperti
itu tapi pekerjaan ibuk HALAL,” tegas Wulan. Ia sengaja menekankan pada kata
halal saat mengucapkannya tadi. Kelas lebih hening. Wulan menelangkupkan
tangannya di atas meja kemudian meneggelamkan kepala di dalamnya.
Air
mata Wulan menetes lagi mengingat kejadian itu. Lalu ia tersenyum samar.
Kejadian itu membuahkan hikmah untuknya, teman-temannya tak lagi memandang
rendah dirinya. Mereka kini menjadi lebih baik terhadap dirinya.
***
Jam
menunjukkan pukul delapan malam. Wulan masih bergelut dengan buku-buku
diktatnya. Mempelajari beberapa rumus matematika, menghafal beberapa kosa-kata
Bahasa Inggris, SAINS, dan IPS. Ditemani dengan lampu kuning yang berpendar
temaram.
Tok! Tok!
Pintu rumahnya diketuk oleh buku jari. “Nduk, Wulan,” ucap
suara dari luar.
Wulan
berdiri dari kursi ruang tamu untuk membuka pintu. Wanita dengan kebaya merah
jambu tengah berdiri di hadapannya. Tanpa perlu diberi aba-aba satu-dua-tiga,
Wulan sudah menggamit tangan ibunya. Menjabatnya dan mengecup punggung
tangannya.
Wanita
itu masuk rumah dan langsung menuju ke kamarnya. Melepas lelah di sana. Melepas
segala aksesori yang menempel di tubuhnya sedari tadi pagi. Sementara Wulan
menuju ke dapur untuk mengambilkan teh hangat serta sepiring nasi dengan sayur
sop dan sambal terasi.
“Buk, tadi
gimana?” tanya Wulan sambil memijat bahu ibunya setelah ibunya selesai makan.
“Lancar,
Nduk. Tadi perempatan ramai. Jadi ibuk lumayan dapat banyak,” jawab ibunya. “Wis, Nduk. Wis wengi. Cepat tidur
gih,” perintah ibunya halus.
“Iya, Buk,”
jawab Wulan seraya turun dari ranjang ibunya dan menuju kamarnya.
Jam masih
setia bertik-tok-tik-tok di tempatnya. Pukul sepuluh lewat dua puluh lima menit. Ibu Wulan,
Sri, masih terjaga. Ia duduk di atas ranjang tidunya sambil mengurut dada.
Dadanya lecet, ada beberapa pembuluh darahnya memuntahkan cairan merah karena
tergores.
Pukul empat sore. Perempatan begitu ramai lalu lalang kendaraan.
Sri tengah menggenggam mic dan menyanyi di samping kaca sebuah
mobil ketika traffic light berubah menjadi merah. Seseorang di dalam mobil itu
membuka kacanya, memberinya selembar uang seribu rupiah.
“Terima kasih, Bu,” ucap Sri sambil
tersenyum. Wanita di dalam mobil itu tersenyum sambil mengangguk. Sri melirik
count down traffic light, masih 10 detik. Sri memilih untuk kembali ke trotoar.
Tanpa ia duga, ketika ia tengah berbalik
hendak menuju trotoar, sebuah sepeda motor yang tengah dikemudikan zig-zag oleh
pemiliknya menabrak Sri hingga ia terpelanting. Dadanya terseret aspal jalan
perempatan itu. Pengemudi yang gugup langsung melempari Sri dengan tiga lembar
uang seratus ribuan dan berlalu tanpa attitude.
Sri
bernafas lebih dalam. Rasanya panas dan perih. Dadanya terasa sangat sesak
sebelum akhirnya ia terbatuk-batuk.
***
Kereta
Luna Selena kali ini tidak mendaki langit yang pekat. Hujan masih bergemericik
di luar rumah. Kedinginan malam itu sungguh menusuk tulang. Membekukan
peredaran darah semua makhluk hidup.
Enam
bulan terakhir ini batuk Sri tak kunjung reda. Bahkan beberapa kali batuk itu
memuntahkan darah dari mulutnya. Wulan yang iba, beberapa kali menawarkan
ibunya untuk ke dokter. Namun ibunya tetap menolak. Selama enam bulan itu,
Wulan menggantikan ibunya mengamen setelah pulang sekolah.
Gemericik
hujan malam ini membuat ibunya muntah hebat. Wulan tengah membersihkan muntahan
darah ibunya. Ibunya tengah berbaring lemas di atas tempat tidur. Sangat lemah.
Pendar wajahnya pucat dan semu. Matanya terlihat lebih menonjol dari biasanya.
Tubuhnya semakin kurus.
“Ibuk,
cepet sembuh ya, Buk,” pinta Wulan. Ia membenahi letak kompres di kening
ibunya. Wulan berusaha agar tidak menangis. Ia tak mau ibunya semakin lemah.
“Iya,
Nduk. Doakan ibuk,” jawab Sri pelan dan sedikit terbata. “T-tap-tapi kalau ibuk
memang harus pergi, kamu baik-baik yo, Nduk,”lanjutnya lemah. Ia memalingkan pandangan
dari anak semata wayangnya. Ia tidak tega melihat anaknya. Dalam benaknya hanya
ada kalimat, ‘Inilah yang terakhir’. Entah apa dan siapa yang akan berakhir.
“Ibuk,
Wulan nggak mau ibuk pergi ke mana-mana. Wulan nggak mau sendirian,” ucap Wulan
sambil menunduk. Ia masih berusaha menahan air matanya yang nyaris tercucur.
Wulan
meraih buku tulis yang ia letakkan di atas meja rias ibunya. Menuliskan sesuatu
di atasnya. Lalu merobeknya dan melipatnya menyerupai pesawat. Ia melirik ke
arah ibunya yang tengah tidur. Hatinya berdesir, berperang antara iba dan
sayang. Ibunya semakin lemah. Beberapa kali sempat
terbatuk-batuk saat tidur sekalipun.
Wulan
merangsek berdiri. Ia pandangi wajah ibunya. Air matanya menetes satu. Ia
membungkuk, mengecup kening ibu tercintanya, “Cepat sembuh ya, Buk”. Kemudian
ia beranjak keluar rumah.
Jam
menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh satu menit.
Wulan
berjalan berjingkat-jingkat menghindari kubangan air bekas hujan tadi. Hawa
dingin masih seperti racun yang menjalari setiap tulang-tulang manusia. Seolah
tak boleh ada yang kelewatan satu pun.
Lapangan
di sudut gang terlihat gelap dan sepi. Wulan segera menuju ke tengah-tengahnya.
Sejenak ia menatap langit. Tak ada bintang, tak ada bulan. Ia hanya sendiri.
Menggenggam surat pesawatnya di tengah lapangan.
“Tuhan,
terima, ya?” ucap Wulan seraya melemparkan surat pesawatnya ke udara. Surat itu
melayang menjauh dari Wulan yang tengah berdiri di tengah lapangan.
Hujan
yang sudah berhenti, mulai menangis lagi. Hawa dingin semakin menusuk hingga
paru-paru. Wulan segera berlari menuju gang rumahnya. Langkahnya gontai tersapu
angin dingin yang berhembus. Tubuh kecilnya semakin menggigil. Telapak kakinya
yang tanpa alas, memucat. Kaos hijau dan celana selututnya basah kuyup. Wulan tak
sanggup lagi berlari, bahkan berjalan sekalipun.
Ia
berhenti di ujung gang. Berjongkok sambil memeluk lutunya yang mendingin.
Wajahnya memucat. Tubuh kecilnya semakin menggigil. Ia sangat lelah. Tiba-tiba
tubuhnya sudah bersandar di tembok rumah tetangganya, tanpa nyawa. Lelahnya
sudah terbayar. Tidur panjangnya ditemani tangis langit malam itu.
Surat cinta untuk
Tuhan..
Kediri, 18 April 2007
Tuhan yang
baik, ini Wulan. Wulan pernah denger pepatah ‘setelah badai akan datang
pelangi’. Kapan pelangi itu datang, Tuhan? Wulan selalu menantikannya.
Tuhan, Wulan
nggak tega melihat ibuk seperti ini. Selalu muntah darah.
Tuhan, Wulan mohon, sembuhin ibuk, ya? Wulan ingin ibuk sehat lagi seperti
dulu. Wulan udah sangat bersyukur meski ibuk hanya seorang pengamen jalanan.
Wulan udah bersyukur. Tapi Wulan minta, berikan ibuk hidup yang baik.
Tuhan
yang baik, jangan ambil nyawa ibuk. Wulan ingin melihat ibuk lebih lama lagi.
Wulan sayang ibuk. Wulan sayang Tuhan. Kabulkan, ya, Tuhan.
Wulan sayang Tuhan.
Wulan
Diya Aringga A. P.
19 April 2011
(14:51)
mantabh........josss...................
BalasHapusgomawo... :D
Hapus