Selasa, 24 Juli 2012

Surat Cinta untuk Tuhan


             Tiga tahun yang lalu….
“Ibuk, Ibuk mau ke mana?” tanya seorang gadis mungil yang kira-kira berusia enam tahun. Matanya tak berhenti menatap wajah ibunya yang di make-up. Tangan kecilnya memainkan jari-jarinya, mengkaitkan kedua telunjuknya, lalu melepaskannya lagi.
“Ibuk mau kerja, Nduk. Kamu di rumah nggak boleh nakal ya?” jawab ibunya lembut.
“Wulan ikut ya, Buk? Wulan janji nggak akan nakal, Wulan nggak akan ganggu Ibuk,” rengek gadis kecil itu. Matanya menyorot penuh harap pada ibunya.
“Wis to, Nduk, cah ayu. Kamu di rumah ae yo, Nduk,” ucapnya seraya menutup lipstick merah yang baru saja dipakainya.
“Wulan ikut, Wulan ikut,” rengeknya manja. Air matanya menetes satu.
Ibunya mengelus lembut rambut anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Kemudian menggendongnya. “Wulan, kamu nggak boleh kayak gitu. Ibuk kerja buat makan Wulan sama ibuk juga. Wulan nggak boleh nakal,” tuturnya dengan setengah berbisik tepat di telinga Wulan. Sekali lagi air mata Wulan menetes. Ia meronta ingin turun. Ibunya menuruti.
“Wis yo, Nduk. Ibuk berangkat dulu,” pamit ibunya dengan hati-hati. Wulan mencium punggung tangan ibunya.
“Daaa-daaah, Ibuk,” ucapnya sembari melambaikan tangannya di udara. Matanya masih menatap ibunya yang berjalan menjauh dari rumahnya. Pintu rumah pun ia tutup kala ibunya sudah tak terlihat ketika sudah berbelok di ujung gang.
Jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Fajar yang menyingsing masih sebagian. Ibu Wulan berjalan sedikit gontai. Wajahnya di poles cantik nan rupawan. Baju transparannya bermotif biru muda dari benang dan manik-manik kecil yang mengilat saat ditempa cahaya. Kain batiknya menutupi hingga mata kaki. Kakinya yang telanjang tanpa alas kaki membuatnya sesekali meringis kesakitan kala menginjak batu yang tajam.
***


“Wulan, ibuk berangkat kerja dulu,” pamit ibunya. Masih sama lembutnya dengan tiga tahun lalu. Wulan menggamit tangan ibunya, mencium punggung tangannya. Jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Fajarpun masih enggan beranjak dari peraduannya karena tertutup mendung.
“Hati-hati, Buk,” ucap Wulan sambil mengantarkan ibunya hingga depan rumah. Ibunya tersenyum tulus, kemudian berlalu ke ujung gang.
Wulan menatap punggung ibunya iba. Tubuh yang menjauh dari rumahnya itu memakai kebaya merah jambu dengan manik-manik kecil yang mengilat. Tip kecil disandang di bahunya. Namun yang tak dapat ia pungkiri, ibunya sudah lebih tua daripada tiga tahun lalu.
Wulan masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia duduk di kursi reyot di ruang tamu. Ia ingat peristiwa setahun yang lalu saat teman-teman sekolahnya mengejek dirinya.
“Hahahahaha, Wulan anak pengamen yang dandan kayak lenong. Hahahahaha,” ucap seorang anak yang disambut gelegar tawa mengejek teman-temannya yang lain.
Air mata Wulan menetes satu. Ia mencoba tak mendengar ejekan teman-temannya itu. Aida, teman sebangku Wulan terus menggenggam tangan Wulan, meyakinkannya bahwa Wulan harus bersabar. “Wulan anak pengamen yang dandanannya kayak lenong,” ejek temannya lagi, kali ini lebih keras.
Tangis Wulan meledak. “Memang kenapa kalau ibu Wulan pengamen? Memang kenapa kalau ibu Wulan dandan seperti lenong?” sergah Wulan suaranya bergetar. Sontak suara gaduh di kelasnya itu lenyap. Kelasnya hening. Aida masih menggenggam tangan Wulan.
“Meskipun ibuk ngamen dengan dandan seperti itu tapi pekerjaan ibuk HALAL,” tegas Wulan. Ia sengaja menekankan pada kata halal saat mengucapkannya tadi. Kelas lebih hening. Wulan menelangkupkan tangannya di atas meja kemudian meneggelamkan kepala di dalamnya.
Air mata Wulan menetes lagi mengingat kejadian itu. Lalu ia tersenyum samar. Kejadian itu membuahkan hikmah untuknya, teman-temannya tak lagi memandang rendah dirinya. Mereka kini menjadi lebih baik terhadap dirinya.
***

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Wulan masih bergelut dengan buku-buku diktatnya. Mempelajari beberapa rumus matematika, menghafal beberapa kosa-kata Bahasa Inggris, SAINS, dan IPS. Ditemani dengan lampu kuning yang berpendar temaram.
Tok! Tok! Pintu rumahnya diketuk oleh buku jari. “Nduk, Wulan,” ucap suara dari luar.
Wulan berdiri dari kursi ruang tamu untuk membuka pintu. Wanita dengan kebaya merah jambu tengah berdiri di hadapannya. Tanpa perlu diberi aba-aba satu-dua-tiga, Wulan sudah menggamit tangan ibunya. Menjabatnya dan mengecup punggung tangannya.
Wanita itu masuk rumah dan langsung menuju ke kamarnya. Melepas lelah di sana. Melepas segala aksesori yang menempel di tubuhnya sedari tadi pagi. Sementara Wulan menuju ke dapur untuk mengambilkan teh hangat serta sepiring nasi dengan sayur sop dan sambal terasi.
“Buk, tadi gimana?” tanya Wulan sambil memijat bahu ibunya setelah ibunya selesai makan.
“Lancar, Nduk. Tadi perempatan ramai. Jadi ibuk lumayan dapat banyak,” jawab ibunya. “Wis, Nduk. Wis wengi. Cepat tidur gih,” perintah ibunya halus.
“Iya, Buk,” jawab Wulan seraya turun dari ranjang ibunya dan menuju kamarnya.
Jam masih setia bertik-tok-tik-tok di tempatnya. Pukul sepuluh lewat dua puluh lima menit. Ibu Wulan, Sri, masih terjaga. Ia duduk di atas ranjang tidunya sambil mengurut dada. Dadanya lecet, ada beberapa pembuluh darahnya memuntahkan cairan merah karena tergores.
Pukul empat sore. Perempatan begitu ramai lalu lalang kendaraan.
Sri tengah menggenggam mic dan menyanyi di samping kaca sebuah mobil ketika traffic light berubah menjadi merah. Seseorang di dalam mobil itu membuka kacanya, memberinya selembar uang seribu rupiah.
“Terima kasih, Bu,” ucap Sri sambil tersenyum. Wanita di dalam mobil itu tersenyum sambil mengangguk. Sri melirik count down traffic light, masih 10 detik. Sri memilih untuk kembali ke trotoar.
Tanpa ia duga, ketika ia tengah berbalik hendak menuju trotoar, sebuah sepeda motor yang tengah dikemudikan zig-zag oleh pemiliknya menabrak Sri hingga ia terpelanting. Dadanya terseret aspal jalan perempatan itu. Pengemudi yang gugup langsung melempari Sri dengan tiga lembar uang seratus ribuan dan berlalu tanpa attitude.
Sri bernafas lebih dalam. Rasanya panas dan perih. Dadanya terasa sangat sesak sebelum akhirnya ia terbatuk-batuk.
***

Kereta Luna Selena kali ini tidak mendaki langit yang pekat. Hujan masih bergemericik di luar rumah. Kedinginan malam itu sungguh menusuk tulang. Membekukan peredaran darah semua makhluk hidup.
Enam bulan terakhir ini batuk Sri tak kunjung reda. Bahkan beberapa kali batuk itu memuntahkan darah dari mulutnya. Wulan yang iba, beberapa kali menawarkan ibunya untuk ke dokter. Namun ibunya tetap menolak. Selama enam bulan itu, Wulan menggantikan ibunya mengamen setelah pulang sekolah.
Gemericik hujan malam ini membuat ibunya muntah hebat. Wulan tengah membersihkan muntahan darah ibunya. Ibunya tengah berbaring lemas di atas tempat tidur. Sangat lemah. Pendar wajahnya pucat dan semu. Matanya terlihat lebih menonjol dari biasanya. Tubuhnya semakin kurus.
“Ibuk, cepet sembuh ya, Buk,” pinta Wulan. Ia membenahi letak kompres di kening ibunya. Wulan berusaha agar tidak menangis. Ia tak mau ibunya semakin lemah.
“Iya, Nduk. Doakan ibuk,” jawab Sri pelan dan sedikit terbata. “T-tap-tapi kalau ibuk memang harus pergi, kamu baik-baik yo, Nduk,”lanjutnya lemah. Ia memalingkan pandangan dari anak semata wayangnya. Ia tidak tega melihat anaknya. Dalam benaknya hanya ada kalimat, ‘Inilah yang terakhir’. Entah apa dan siapa yang akan berakhir.
“Ibuk, Wulan nggak mau ibuk pergi ke mana-mana. Wulan nggak mau sendirian,” ucap Wulan sambil menunduk. Ia masih berusaha menahan air matanya yang nyaris tercucur.
Wulan meraih buku tulis yang ia letakkan di atas meja rias ibunya. Menuliskan sesuatu di atasnya. Lalu merobeknya dan melipatnya menyerupai pesawat. Ia melirik ke arah ibunya yang tengah tidur. Hatinya berdesir, berperang antara iba dan sayang. Ibunya semakin lemah. Beberapa kali sempat terbatuk-batuk saat tidur sekalipun.
Wulan merangsek berdiri. Ia pandangi wajah ibunya. Air matanya menetes satu. Ia membungkuk, mengecup kening ibu tercintanya, “Cepat sembuh ya, Buk”. Kemudian ia beranjak keluar rumah.
Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh satu menit.
Wulan berjalan berjingkat-jingkat menghindari kubangan air bekas hujan tadi. Hawa dingin masih seperti racun yang menjalari setiap tulang-tulang manusia. Seolah tak boleh ada yang kelewatan satu pun.
Lapangan di sudut gang terlihat gelap dan sepi. Wulan segera menuju ke tengah-tengahnya. Sejenak ia menatap langit. Tak ada bintang, tak ada bulan. Ia hanya sendiri. Menggenggam surat pesawatnya di tengah lapangan.
“Tuhan, terima, ya?” ucap Wulan seraya melemparkan surat pesawatnya ke udara. Surat itu melayang menjauh dari Wulan yang tengah berdiri di tengah lapangan.
Hujan yang sudah berhenti, mulai menangis lagi. Hawa dingin semakin menusuk hingga paru-paru. Wulan segera berlari menuju gang rumahnya. Langkahnya gontai tersapu angin dingin yang berhembus. Tubuh kecilnya semakin menggigil. Telapak kakinya yang tanpa alas, memucat. Kaos hijau dan celana selututnya basah kuyup. Wulan tak sanggup lagi berlari, bahkan berjalan sekalipun.
Ia berhenti di ujung gang. Berjongkok sambil memeluk lutunya yang mendingin. Wajahnya memucat. Tubuh kecilnya semakin menggigil. Ia sangat lelah. Tiba-tiba tubuhnya sudah bersandar di tembok rumah tetangganya, tanpa nyawa. Lelahnya sudah terbayar. Tidur panjangnya ditemani tangis langit malam itu.



Surat cinta untuk Tuhan..

Kediri, 18 April 2007
Tuhan yang baik, ini Wulan. Wulan pernah denger pepatah ‘setelah badai akan datang pelangi’. Kapan pelangi itu datang, Tuhan? Wulan selalu menantikannya.
Tuhan, Wulan nggak tega melihat ibuk seperti ini. Selalu muntah darah. Tuhan, Wulan mohon, sembuhin ibuk, ya? Wulan ingin ibuk sehat lagi seperti dulu. Wulan udah sangat bersyukur meski ibuk hanya seorang pengamen jalanan. Wulan udah bersyukur. Tapi Wulan minta, berikan ibuk hidup yang baik.
Tuhan yang baik, jangan ambil nyawa ibuk. Wulan ingin melihat ibuk lebih lama lagi. Wulan sayang ibuk. Wulan sayang Tuhan. Kabulkan, ya, Tuhan. Wulan sayang Tuhan.

Wulan                        





Diya Aringga A. P.
19 April 2011 (14:51)

2 komentar: