Rabu, 02 November 2011

Setangkai Hati #part 4

            Hari Minggu pertama bulan November. Rumah Dissa sangat sepi. Hanya dia satu-satunya penghuni rumah itu. Ayahnya tengah berada di luar kota. Sementara ibunya sedang pergi ke rumah teman lamanya di Surabaya bersama Cici.
Huh.
Dissa menghabiskan beberapa jam melepas jenuhnya dengan menonton acara TV. Mulai dari kuis, musik, sampai telenovela. Ia duduk sedikit merosot, kepalanya bersandar di sandaran sofa. Tangannya berkali-kali mengacungkan remote dan menekan tombol-tombolnya untuk mengganti channel.
Ia mulai bosan. Matanya melirik jam yang bersandar di dinding belakang TV. “Jam sepuluh kurang dua,” gumamnya. Ia menekan tombol off pada remote control TVnya. Kemudian menyalakan DVD player untuk memainkan beberapa lagu.
Tok. Tok.
Pintu kayu rumah Dissa diketuk. Dissa segera bangkit untuk membukakan pintu. Ia merapikan T-shirt kuning dengan gambar sponge bob yang tengah dipakainya, menariknya agar terlihat sedikit gombrang. Decit pintu terbuka. Dissa dapat melihat ada tiga orang tengah berdiri di depan pintu yang telah ia buka itu.
“Hei…..” sapa Dissa.
           “Selamat ulang tahun ya, sayang…” ucap Tita begitu melihat Dissa berdiri di hadapannya sambil menyerahkan sekotak kado berbungkus biru kalem, warna kesukaan Dissa. Dissa hanya tersenyum sambil memeluknya, “Thanks, Ta buat kadonya. Gue aja lupa kalau hari ini gue ulang tahun.”
Happy birthday yah, Sa,” ucap Theo sambil tersenyum simpul. Ia menyerahkan sebungkus coklat dengan pita biru muda. Dissa tersenyum lebar, “Thanks coklatnya, Yo.”
“Hai-hai, Dissa. Selamat ultah ya, Cin. Gue doain lo cepet punya pacar. Hehehehe,” ucap Kea dengan gaya kemayunya sambil menyenggol lengan Theo saat mengucapkan gue doain lo cepet punya pacar. Sementara Theo hanya nyengir kuda. Untung saja Dissa tak menyadarinya.
“Iya-iya. Makasih ya, Ke,” jawab Dissa sambil tersenyum lebar. Dissa mempersilahkan mereka masuk.
“Bener juga doa lo, Ke. Biar Dissa cepet punya pacar,” sedetik itu Tita mengerling pada Theo sebelum akhirnya ngakak.
“Iya dong. Kea….” Kea membanggakan diri. Beberapa menit berikutnya Tita dan Kea sibuk menggoda Dissa karena doa Kea agar Dissa cepat punya pacar usai Dissa mengambikan empat gelas nescaffe ice dan setoples keripik kentang. Dissa membanting tubuhnya duduk di sebelah Theo, sedangkan Kea duduk di sebelah Tita.
Dua orang cewek dan satu cowok bergaya cewek itu terlibat dalam celoteh yang heboh. Beberapa kali mereka manyun, beberapa kali juga mereka tertawa. Ruang tamu rumah Dissa mendadak ramai karenanya. Sementara Theo hanya diam.
“Dis,” ucap Theo bergetar.
“Iya?” Dissa menoleh menghadapnya. Tita dan Kea langsung saling pandang sejenak kemudian.
“Gue mau ngomong sesuatu, tapi lo nggak boleh ketawa,” ucap Theo masih dengan nada begetar gugup.
“Oke. I promise,” jawab Dissa.
Theo menarik napasnya, “Gue bingung mau mulai dari mana,” ucap Theo sambil menunduk. Ia menarik napas lagi,”Gue cuma mau ngomong kalau udah lama gue su-……….”
Tok. Tok. Tok.
Pintu rumah Dissa kembali diketuk.
“Bentar-bentar. Gue bukain pintu dulu,” Dissa bangkit untuk membukakan pintu. Sekali lagi pintu berdecit terbuka.
Seseorang tengah berdiri di hadapannya. Ia memakai kemeja hitam bergaris-garis tipis warna putih lengan panjang yang lengannya di gulung hingga siku. Kemeja itu diimbangi dengan celana jeans biru tua. Rambut pendek jabriknya disisir rapi. Wajahnya dibingkai senyum yang indah.
A handsome boy….
“Di-ko?” tanya Dissa gugup. Hatinya bergetar. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Matanya menatap lurus ke arah cowok itu tanpa berkedip. Seolah ia meyakinkan dirinya tentang apa yang ia lihat hari ini.
Yes, I am. Selamat ulang tahun,” jawab cowok itu, senyum kembali membingkai wajah manisnya. Dissa tak segera menjawabnya, tak juga mempersilakannya masuk. Dissa hanya diam. Mematung di tempatnya berdiri.
“I-iya. Thanks,” jawab Dissa gugup. Cowok yang dipanggil Diko itu mengulurkan bungkusan kado berwarna biru kalem dengan pita biru tua. Cantik sekali. Dissa menerimanya, namun ia tetap mematung. Keduanya hanya terlibat dalam adu pandang.
Tanpa Dissa sadari, sedari tadi Tita, Theo, dan Kea tengah memperhatikan mereka. “Kok nggak disuruh masuk sih, Dis?” celetuk Kea masih dengan gaya ceweknya, cepat-cepat Tita menyenggol lengan Kea.
“Eh, i-i-iya. Ma-masuk, Dik,” ucap Dissa mempersilakan.
Thanks,” jawabnya seraya memasuki rumah. Diko langsung bergabung dengan Tita, Kea, dan Theo. Dia memperkenalkan namanya dan mengambil duduk di sebelah kiri Theo. Dissa pun mengambil duduk di sebelah kiri Diko setelah mengambilkannya segelas nescaffe ice untuknya.
“Emang kapan kamu kenal Dissa?” tanya Kea santai.
“Gue sama Dissa dulu temen waktu SMP,” jawab Diko ringan. Dissa mencoba melakukan telepati kepada Kea, please, jangan tanya macem-macem, Ke.
“Oh, temen SMP. Pantesan gue nggak pernah lihat lo di SMA kita,” celetuk Kea. Yess! Berhasil. Batin Dissa.
Sejam kemudian, lima remaja itu saling bertukar guyonan. Diko ternyata cepat akrab dengan Tita, Theo, dan Kea. “Kalok gue nih ya, pengen buat hape yang kalok ada telpon bisa jalan nyariin gue sambil bilang, ‘ada telpon-ada telpon’,” celetuk Kea dengan kemayu. Itu disambut gelak tawa teman-temannya. Diko hanya tersenyum. Ia menoleh menatap Dissa yang tengah duduk di sebelah kirinya. Ia menegakkan duduknya.
“Dis, lo udah buka kado gue?” ucap Diko tiba-tiba. “Belum,” jawab Dissa seraya meraih bungkusan kado pemberian Diko dan membukanya.
Tangkai bunga dengan hati warna merah dari foam lembut sebagai bunganya. Dissa mendongakkan kepalanya ke arah Diko. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan mata Diko. Dissa sempat menyelami bening mata Diko, dan itu membuat kakinya lemas. Seakan tulang-tulangnya mencair. Suasana menjadi hening. Kea dan Tita hanya saling pandang. Apa ya istilahnya? Speechless. Yap! Seluruh orang di ruangan itu terjangkit virus speechless mendadak.
“Gue mau nanem itu, hanya saja gue nggak bisa. Ia hanya akan menjadi banyak jika dipupuk dengan cinta. Tapi gue sadar kalok cinta gue masih tertinggal di hati lo sejak tiga tahun lalu.
Sorry kalok selama ini lo nganggep gue pengecut. Sorry kalok tingkah gue buat lo ngerasa sakit, buat lo ngerasa bersalah. Gue lakuin itu hanya pengen buat lo tenang, buat lo sadar kalok cinta itu nggak mesti sama dengan apa yang lo mau. Cinta itu butuh perbedaan.
Gue nggak nyangka kalau semuanya bakal sedemikian jauh. Semakin gue berusaha nge-jauh dari lo, gue semakin ingin ada di dekat lo. Gue nggak bisa lupain lo. Keinginan gue buat lo tenang tanpa gue, malah ternyata buat gue gusar pengen ketemu lo,” ucap Diko pelan. Matanya masih saling bertatapan dengan Dissa.
“Jadi lo nggak mendem sakit ati ke gue?” Dissa meyakinkan.
“Nggak. Karena gue terlalu cinta dan terlalu suka sama lo,” jawabnya lirih. “Lo mau jadi pacar gue, mmm…” Diko menelan ludah dan menarik napas pelan, ”Lagi?” lanjutnya.
Dissa hanya diam. Matanya menatap Tita untuk menanyakan jawaban yang tepat. Tita hanya mengerling. Ia menatap Kea, Kea hanya mengacungkan ibu jari tangan kanannya. Ia menatap Theo, tak ada respon apapun. Dissa tau betapa sakit dia melihat kejadian itu. Kemudian Theo tersenyum.
Dissa menarik napas pelan, “Karena gue juga terlalu cinta dan terlalu suka sama lo.” Sejenak kemudian Diko menggamit tangan Dissa, menggenggamnya erat-erat. Seolah tak ingin terlepas lagi. Lagu Never Gonna Leave Your Side-nya Daniel Bedingfield mengalun dari DVD Dissa sebagai backsound siang itu.
And I’m never gonna leave your side
And I’m never gonna leave your side, again
Still holding on girl, I won’t let you go
‘Cause when I’m lying in your arms
I know I’m home


------------------------ 
(29/10/2011, 22:30)

1 komentar: