Jumat, 25 Maret 2011

Usia 16

Hati yang bergelayut
Mengkiaskan gelisah terdalam
Dalam kepingan hati
Yang mengharu-biru
Aku masih menanti
Datangnya pelangi dalam hujan malam ini
Menyapu segala kepiluan
Yang tak kunjung terbayarkan

           Gadis enam belas tahun itu masih diam. Menatap dirinya di cermin besar. Wajahnya dipoles nan cantik. Kelopak mata belonya disapu eye-shadow warna biru kalem. Bibir tipisnya merekah dengan lipstick warna merah. Kulit putihnya terlihat lebih bercahaya. Baju hitamnya indah layaknya putri raja.
           Seorang wanita paruh baya mendekatinya. Berbisik padanya, “Ayuh, Nduk, cepet keluar. Wis ditunggu loh.” Lalu wanita itu melenggang keluar kamar. Sementara gadis itu masih diam. Air matanya nyaris tercucur. Namun ia berusaha menahannya, meski hatinya kini tinggal serpihan kecil.
           “Alina,” sapa seseorang dari lawan arahnya. Ia menoleh menuju sumber suara itu. Jelas tampak di matanya dua orang remaja dengan seragam SMU tengah berdiri di depan pintu sambil menenteng kotak berbungkus kertas merah jambu.
           “Silakan masuk,” ucap Alina seraya merosot dari dudukya dan berpindah duduk di atas ranjang.
Dua gadis itu masuk dan duduk di samping Alina sebelum menjabat tangannya. “Selamat ya, Al,” ucap salah satu dari mereka. Papan nama yang bertengger di dada kanannya bertuliskan Devi Pravita. Sementara gadis yang duduk di sebelahnya Adinda Kirana.
           Alina hanya menjawab dengan senyum samar.
           “Lo cantik, Al, pakek baju itu. Sayang temen-temen nggak bisa ke sini sekarang. Mereka masih pada sibuk ngumpulin tugasnya Pak Wahyudi. So, nanti mereka ke sininya agak sore-an. Nggak pa-pa kan? Kalok gue ama Dinda udah ngumpulin dari tadi,” cerocos Devi.
           “Iya. Nggak pa-pa. Thanks udah dateng,” jawab Alina tanpa ekspresi.
           “Senyum dong, Al. Cantik-cantik kok dari tadi murung ajah,” bujuk Dinda.
           Tapi nihil. Tak ada respon dari Alina. Ia masih mematung. Sesekali air mata yang sedari tadi ia tahan tergelincir dari sudut matanya. Matanya menatap lurus ke depan. Fikirannya kacau berperang dengan batinnya. Apa bener ini yang terjadi? Apa bener gue sanggup ngadepin semua ini? Gue bingung. Gue nggak siap! Gue nggak sanggup!
           “Al,” sapa Dinda sambil menepuk pelan bahu Alina. Sontak itu membuyarkan perang hati Alina yang tak kunjung berdamai.
           “Hmm…” jawab Alina.
           “Nglamun ajah lo,” protes Dinda.
* * *
           Irama kebo giro menggema di pelataran rumahnya. Ia tahu banyak orang yang menatapnya. Bukan dengan senyum bangga atau sekedar kagum dengan kecantikannya saat ini. Tapi dengan tatapan yang tak kunjung padam. Alina mengartikan tatapan itu seperti Aduh, anak ini masih kecil udah nikah.
           Tatapan Alina kosong. Fikirannya melayang.
           “Lo udah ngerjain PR fisika belom?” tanya Alina.
           “Udah dong. Lo belom?” Fajar balas bertanya.
           “Belom. Gue kemarin - -“ belum usai Alina menjawab, Fajar langsung memberinya buku dengan tulisan fisika gede-gede di sampulnya.
           “Udah. Kerjain sana. Udah tau gurunya disiplin banget, lo-nya kayak karet. Payah,” omel Fajar.
           Dengan innocent-nya Alina kemudian berlalu ke bangkunya, “Gue salin dulu yah.”
           Dunia fantasinya menyerap banyak dari bagian fikirannya. Ia masih belum siap menerima kenyataan tentang dirinya. Statusnya yang telah berganti menjadi seorang ISTRI masih belum bisa ia terima.
           “Al,” ucap seseorang yang kini duduk bersanding dengannya.
           “Hmm…” kontan untuk kedua kalinya lamunan Alina terbuyarkan.
           “Lo kenapa?” tanya lelaki yang sekarang berstatus suaminya itu.
           “Nggak pa-pa,” jawab Alina singkat.
* * *
           Alina menatap dirinya di cermin besar. Ia masih terlihat cantik. Namun matanya yang belo masih tertutup kabut air mata. Melihat postur tubuhnya saat ini, ada perubahan. Perutnya semakin membuncit. Pernikahannya tiga hari yang lalu masih menyisakan sesak di dadanya.
           “Al, lo mau kemana? Jadi kelompokan nggak? Lusa udah kudu dikumpulin loh,” teriak Icha dari depan pintu mengimbangi Alina yang setengah berlari.
           “Gue mau jalan ama Tyo. Kelompokannya, gampanglah,” balas Alina santai kemudian berlalu lebih cepat.
           “Always,” keluh Icha seraya masuk kelas lagi.
           Cepat Alina menaiki motor Tyo dan berlalu bersamanya.
           “Sayang, hari ini kita jadi lihat sunset kan?” tanya Alina manja. Tangannya semakin erat melingkar di pinggang Tyo.
           “Iya dong, honey. Tapi kita makan siang dulu yah. Udah laper banget nih,” jawab tyo tak kalah manja.
           “Oke deh, sayang. Aku sayang kamu.”
           Alina menggeleng cepat-cepat untuk menghilangkan kenangan itu. Kenangan yang baginya terasa amat pahit. Kenangan yang menurutnya tak layak untuk diingat dan tak layak untuk terjadi.
* * *
           Matahari merangkak naik dari peraduannya. Memberikan kecupan hangat bagi seluruh manusia. Menandakan pagi telah kembali menyapa.
           Alina melihat kalender di salah satu sisi kamarnya. 8 desember. Tepat 10 hari ia menyandang status sebagai seorang istri. Namun diam masih membelenggu fikirannya. Perutnya semakin buncit. Dress merahnya sudah tak mampu menutupinya.
           Ia meraih ponselnya. Menekan beberapa tombol lalu mendekatkan ke telinganya.
           “Hallo. Ada apa, Al?” sapa seseorang di seberang sana.
           “Hallo. Ra, gue bisa minta tolong lo?” jawab Alina pelan.
           “Iya. Minta tolong apa, Al?” respon seseorang yang dipanggil ‘Ra’ oleh Alina itu.
           “Gue mau crita sama lo. Sekalian gue minta saran lo. Bisa?”
           “Iya. Nanti siang sepulang sekolah ajah gue ke rumah lo. Gimana?”
           “Oke. Gue tunggu. Thanks ya, Ra.”
           “Sama-sama, Al.”
           KLIK!!
           Alina menekan tombol reject pada key pad ponselnya. Kemudian ia beranjak ke teras rumahnya. Tangannya meraih buku diary dan sebuah bolpen dari atas meja. Tangannya mulai menulis sesuatu.
Tentang cinta yang datang perlahan, hhh,, ntahlah. Gue bingung mesti gimana lagi. Gue salah. Dan kesalahan yang gue perbuat telah sampai pada puncaknya.
           Alina menghentikan sejenak goresan tintanya. Fikirannya melayang untuk beberapa saat.
           “Al, lo sayang gue kan?” tanya Tyo.
           “Iya dong. Gue sayaaaaaang banget sama lo. Emang knapa lo tanya kayak gitu? Lo nggak percaya ama gue?” tanya Alina.
           “Gue percaya kok. Hmm..” jawab Tyo datar. Tiba-tiba saja bibir mereka sudah semakin dekat. Hingga Alina mampu merasakan nafas Tyo yang pelan. Dan tanpa mereka sadari, tubuh mereka telah bersanding dalam sebuah ranjang...
Alina menggeleng pelan. Air matanya menetes.
           “Yo, gue hamil,” ucap Alina pelan. Kepalanya tertunduk lesu. Kristal bening berkali-kali menetes dari sudut matanya. Fikirannya berkecamuk tak tentu arah. Amukan orang tuanya tadi pagi, ditambah lagi surat drop out dari sekolahnya membuatnya semakin tertekan.
           “Ha? Lo hamil?” Tyo tergagap. Ia segera bangkit dari duduknya. Alina hanya menjawabnya dengan sesenggukan.
           “Nggak. Nggak boleh terjadi. Lo mesti gugurin kandungan lo,” ucap Tyo penuh dengan emosi yang tak tentu.
           “Gue nggak bisa lakuin itu, Yo. Bokap gue minta kita nikah SECEPATNYA,” jawab Alina sambil menekankan pada kata ‘secepatnya’ sebelum kemudian berlalu meninggalkan Tyo sambil menangis.
           Alina masih diam. Air mata masih menggantung di pelupuk matanya. Kemudian ia melanjutkan menulis dengan tangan bergetar.
           Gue melakukan apa yang nggak boleh gue lakukan. Gue melakukan yang ditentang agama, adat, hukum, dan orang tua gue. Masa remaja yang seharusnya gue bangun dengan penuh semangat belajar, gue tinggalin demi cinta yang semu. Putih abu-abu yang seharusnya bisa gue jalani dengan penuh impian dan kemenangan gue sia-siain gitu ajah.
           Maafkan aku ayah, ibu. Alina salah. Alina bodoh.
           Memanglah sesal yang ada hanyalah di akhir episode kehidupan. Dan aku nyesel udah melakoni hidup sebagai seseorang yang nggak berguna. Hhh. Sesal memanglah tiada guna. (29/12/10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar